Menjadi vegan membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Namun, penyumbang sampah terbesar justru dari makanan berupa sayur, buah, dan tumbuhan. Menjadi Vegan yang bijak adalah salah satu solusinya.
Menjadi Vegan memang tidak mudah. Seperti Ferry (24) adalah salah seorang Vegan yang berasal dari Madiun. Ia memutuskan menjadi Vegan semenjak Oktober 2017. Ia mengaku terinspirasi dari kakek buyutnya yang juga seorang Vegan. Kakek buyutnya meninggal pada saat usia 98 tahun. Selama hidupnya, sang kakek tidak mengalami penyakit yang ‘macam-macam’ dan tetap bertani hingga usia tua. Dari situlah Ferry mulai bertekad untuk menjadi seorang Vegan.
Saat ini, Ferry berkuliah dan juga bekerja sebagai seorang Polisi. Menjadi Vegan pada awalnya ada tantangan tersendiri. Ia mengaku sempat berkata ‘puasa’ ketika diajak makan ayam bersama temannya. Hingga pada akhirnya ia mengaku sebagai seorang Vegan. Teman-temannya memahami keadaan Ferry, sehingga ketika ia diajak makan ke restoran, mereka menyediakan menu non-hewani.
Ferry juga ingin semakin banyak orang menjadi Vegan seperti dirinya. Ia pun ikut mengkampanyekan dan mengajak orang lain untuk menjadi Vegan dengan cara mempublikasikan ulang di Instagram Stories poster dari Instagram Vegan Indonesia atau komentar di Facebook Vegan Society Indonesia. Ia juga mengajak teman-temannya di kantor dan juga ajakkan di media sosial Twitter. Berkat dirinya, terdapat 1 orang yang berhasil ia ajak menjadi seorang Vegan. Motivasinya dalam mengajak orang menjadi Vegan yakni selain karena kesehatan juga karena untuk lingkungan, yaitu penanganan perubahan iklim.
Ferry adalah salah satu dari 2 juta Vegan di Indonesia, menurut data Indonesia Vegetarian Society (IVS). dalam data The Global Vegetarian Index yang dikeluarkan Oliver’s Travel. Indonesia merupakan peringkat ke -16 yang menempati posisi pada Negara Ramah Vegetarian.
Vegan berbeda dengan Vegetarian karena Vegan tidak mengonsumsi apapun dari hewani, sedangkan Vegetarian masih mengonsumsi produk hewani seperti susu, telur, dan sebagainya. Ya, vegan menjadi salah satu cara untuk menangani perubahan iklim. Hal ini karena emisi gas yang dihasilkan oleh vegan tidak sebesar orang yang mengonsumsi daging (sapi dan kambing). Sehingga, dengan menjadi vegan kita dapat membantu mengurangi emisi gas yang berdampak pada efek rumah kaca.

Dilihat dari data Shrink That Footprints, bahwa Vegan hanya menghasilkan karbon 1,5 CO2 dibandingkan dengan pemakan daging (omnivor) yakni 3,3 CO2 yang artinya vegan hanya menghasilkan setengah dari emisi gas karbon tersebut. Data selanjutnya yaitu sebesar 14.1 g/CO2 per kalori, artinya lebih besar dibandingkan sayur yang hanya 2.8 g/CO2 dan makanan lain yang emisinya lebih rendah.
Hasil studi dari Departemen Ilmu Makanan, Universitas Copenhagen yang dikeluarkan pada Juli 2019 dengan judul “Which Diet Has the Least Environmental Impact on Our Planet? A Systematic Review of Vegan, Vegetarian and Omnivorous Diets”, menuliskan bahwa perbandingan antara Vegan, Vegetarian, dan pemakan produk daging (omnivor) yang paling berdampak paling sedikit bagi lingkungan adalah Vegan. Hal ini ditunjukan dengan vegan paling rendah karbon dioksida sekali konsumsi 2000 kalori per produksi. Penggunaan air juga sangat tinggi pada vegetarian dan juga omnivor dibandingkan dengan vegan. Seperti dalam memproduksi satu kilogram daging sama dengan 13 kg gandum dan juga 30 kg jerami, dengan produksi air sebesar 105,400 liter air sedangkan dalam memproduksi satu kilogram di lahan pertanian hanya menggunakan 500-2000 liter air. Dalam hal penggunaan lahan ternak pun, ternak telah memakai 70% lahan, sedangkan untuk tanam-tanaman pertanian hanya memakai sepertiga lahan. Artinya, dalam penggunaan lahan, pun vegan masih dibilang lebih hemat dan produksinya lebih banyak daripada untuk ternak hewan.
Menurut Dosen Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Gabriel Andari Kristanto, gaya hidup adalah sebuah pilihan bagi kita. Ia mengatakan bagaimana kita dalam mengonsumsi adalah sebuah pilihan, “Limbah makanan kita kan lebih kepada gaya hidup ya. Dimunculkan karena gaya hidup ya. Makan di luar lebih banyak, jajan lebih banyak. Sehingga tumbuh resiko-resiko lain yang lebih banyak, resiko kesehatan, resiko lingkungan, termasuk jumlah sampah makanan yang luar biasa banyak.” ungkapnya saat diwawancarai melalui sambungan telepon.
Pada umumnya persoalan sampah makanan di Indonesia jumlahnya relatif besar. Hal ini juga dikemukakan oleh Novrizal Bahar, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia mengatakan bahkan persoalan sampah makanan dilihat dari statistik menunjukkan angka di atas 50 persen. “Namun, dalam penanganannya untuk sampah-sampah makanan cenderung lebih mudah untuk ditangani, baik digunakan kembali sebagai pakan ternak ataupun diolah menjadi pupuk organik dengan berbagai teknologi, termasuk menggunakan teknologi maggot (Black Soldier Fly).” ungkapnya.
Persoalan sampah makanan tertinggi juga menjadi tantangan sendiri bagi seorang Vegan. Hal ini dikarenakan terdapat data bahwa sampah makanan tertinggi yaitu ada pada sampah buah dan sayuran. Seperti dalam Katadata Insight Center, dalam satu hari setidaknya ada 175 ton sampah baru di seluruh Indonesia, yang mana sampah yang diproduksi paling banyak didominasi oleh sampah sisa makanan dengan komposisi 60% sisa makanan, sayuran, hingga tumbuhan. Sedangkan Indonesia sendiri menurut Economic Intelligence Unit (EIU) adalah penyumbang sampah makanan ke-2 setelah Arab Saudi.
Pada akhirnya, menjadi Vegan memang membantu untuk mengatasi perubahan iklim, namun di sisi lain, sampah-sampah makanan seperti buah dan sayur harus diperhatikan lagi bagi setiap vegan atau kita yang mengonsumsi. Tips-tips yang dapat dijalankan yakni memakan makanan secukupnya dan dengan bijak mengonsumsinya. Tidak membuang makanan, menyimpan sayur-mayur di tempat dingin agar tidak cepat busuk, dan juga tidak berlebihan dalam mengambil makanan. Seperti pendapat dari Ibu Andari, yang menyatakan bahwa saat ini haruslah memegang prinsip nilai dalam hidup yang lebih penting. Yakni bagaimana kita hidup sederhana. Dengan memakan makanan yang sehat namun menjaga lingkungan, dan yang penting untuk menjalankan gaya hidup yang berkelanjutan.k
Discussion about this post